Jumat, 05 Juni 2009

IT KPU 2009

Pada hari H Pemilu 2009 kemarin (9 April 2009), saya mencoba mengakses alamat http://tnp.kpu.go.id, tetapi sampai malam dicoba selalu gagal. Situs tersebut akhirnya dapat dibuka setelah saya mencoba mengakses melalui jalur-jalur akses (baca: provider Internet) yang berbeda. Namun, tampilan situs masih kosong. Jika dibandingkan dengan waktu yang sama pada Pemilu 2004 (5 April 2009), pada sore hari data sudah mulai meluncur dan tampil di Internet.

Pada hari H+1 (10 April 2009) siang ini, saya kembali mencoba melihat situs tabulasi nasional perolehan suara pada Pemilu 2009 ini. Hasilnya, situs dapat diakses dari provider Internet yang saya pakai (yang kemarin tidak bisa mengakses ke alamat http://tnp.kpu.go.id), namun, data yang ditampilkan bisa dibilang sangat amat minim. Jumlah suara yang ditampilkan sangat jauh dibandingkan H+1 pada Pemilu 5 tahun yang lalu.

Minimnya jumlah total suara yang masuk ke datacenter IT KPU 2009 ini memang menyedihkan. Namun, dengan kompleksitas formulir tabulasi yang harus diisi di tingkat TPS dan tentu implikasinya pada saat input-ing data di tingkat operator lapangan IT KPU, bisa dimaklumi data yang masuk tidak bisa diharapkan cepat. Berdasarkan pengalaman pada IT KPU 2004, ekspektasi masyarakat terlalu besar, dengan menganggap bahwa kalkulasi IT KPU pasti akan “secepat kilat” mengumumkan hasil akhir total perolehan suara. Jarang orang sadar atau mau tahu bahwa IT KPU tidak mungkin dapat berbuat banyak jika di tingkat operator lapangan (dulu di level kecamatan, sekarang di level kota/kabupaten) tidak memasukkan data ke aplikasi IT KPU! Dari mana situs TNP dapat menampilkan data jika tidak ada data yang dimasukkan di tingkat bawah??! Dulu, berbagai sebab musabab terjadinya keterlambatan input data; mulai dari pihak KPPS yang tidak segera memasukkan laporan rekapitulasinya karena ingin laporannya benar-benar valid alias tidak ada kesalahan, ada juga yang pihak kecamatan tidak mengijinkan operator (yang kebanyakan adalah relawan mahasiswa dan pelajar/guru SMK) lembur di kantor kecamatan (harus dikerjakan di jam kerja, padahal jam kerja di kecamatan itu baru mulai jam 10-an, jam 12 sudah istirahat, masuk lagi jam 2 siang, jam 3 sudah mau pulang!)… dapat dibayangkan jika ada kecamatan yang baru bisa melaporkan seluruh data-nya setelah lewat dari 1-2 minggu kemudian!

Dengan segala keterbatasannya, jika 5 tahun lalu jaringan IT KPU mencapai tingkat kecamatan di seluruh Indonesia, kini “mundur” hanya sampai tingkat kabupaten/kota. Namun, “kemunduran” paling utama yang saya lihat adalah hilang-nya fungsi kontrol dan akuntabilitas dalam transparansi hasil Pemilu. Jika pada 5 tahun lalu kita semua dapat melihat dan membuktikan sendiri hasil perolehan suara di TPS kita masing-masing (dengan mencocokkan data yang ada di web), kini tampilan IT KPU tidak lagi menampilkan fitur tersebut.

Tampilan perolehan suara pada situs http://tnp.kpu.go.id kini menurut saya tidak lebih dari perluasan quick count yang banyak muncul belakangan ini. Kenapa begitu? Quick count diselenggarakan untuk menghitung dengan cepat, melalui metode statistik, untuk memprediksi hasil akhir perolehan suara. Kata-kata penting dari quick count adalah hitung cepat, statistik, prediksi dan hasil akhir. Jika sampling data yang dilakukan oleh quick count misalnya hanya 5% dari total populasi TPS (saya belum mendapatkan angka pastinya), IT KPU memberikan “sampling” lebih baik saja (jika mengikuti apa yang terjadi di Pemilu 2004, “sampling” ini mencapai 80-an %). Tidak lebih dari memberikan “sampling” yang lebih baik. Karena kini IT KPU pun sama-sama tidak bisa memvisualisasikan perolehan suara dalam bentuk tabel sampai ke level TPS (setidaknya sampai pada saat saya membuat tulisan ini). IT KPU kini sama seperti quick count. Sama-sama tidak dapat dipakai untuk menunjukkan, apalagi membuktikan adanya manipulasi data, karena data yang ditampilkan “tiba-tiba” ya seperti itu. Tanpa keberadaan drill-down data sampai di tingkat TPS. Dengan sifatnya yang seperti itu, IT KPU 2009 tidak lebih sebagai “quick count” resmi yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum, dengan keutamaan berupa tingkat sampling yang lebih baik (asumsi: 80%). Tidak ada kelebihan lain, selain menjadi lebih mahal secara implementasi (dibanding quick count yang diselenggarakan oleh beberapa lembaga).

Kemampuan “Komando” dan “Penguasaan” Teritorial

Ada banyak orang dengan segudang ide, ada banyak pula orang yang punya segudang kemampuan. Tetapi pada pelaksanaan hajat sebesar IT KPU, yang dibutuhkan tidak sekedar ide dan kemampuan. Pekerjaan sebesar ini merupakan pekerjaan kolosal, pekerjaan yang harus dikerjakan beramai-ramai dan bahu membahu. Membangun sistem dan aplikasi pada datacenter adalah sebuah masalah besar. Tetapi jangan pernah lupa bahwa teknis pelaksanaan di lapangan juga menjadi sebuah masalah lain yang tidak kalah besarnya!

Pernahkah Anda membayangkan, bagaimana mengumpulkan belasan ribu orang relawan dari berbagai unsur pelajar, guru dan mahasiswa di seluruh Indonesia dalam waktu 1 bulan saja? Mengajarkan bagaimana cara menggunakan aplikasi untuk meng-input data di setiap kantor kecamatan yang menjadi pusat entry data… dan juga membangun semangat militan, rasa nasionalisme dan memiliki yang mendalam terhadap sistem IT KPU 2004! Tanpa memiliki kemampuan “komando” dan memiliki jaringan yang luas dan “rembes”, pada siapa kita berharap? Pada bagian ini-lah yang sepertinya terlupakan oleh banyak orang.

Melihat kinerja IT KPU, sepertinya team IT KPU belum siap dengan koneksi jaringan IT yang baik. Jaringan (network) yang establish belum tentu bisa menjamin jaringan tidak down (over load) saat dilewati data dari seluruh Indonesia,secara bersamaan. Dalam perhelatan akbar seperti Pemilu harusnya perencanaan atau instalasi TI-nya tidak asal jadi. Seyakin apapun, tentang performance jaringan atau suport system yang dibangun, tetapi untuk mensuport acara besar seperti Pemilu harusnya tetap disediakan jaringan back up, untuk mengantisipasi kendala-kendala yang mungkin terjadi.

(Mohon Maaf) Secara teknis saya tidak mengerti routing yang dipakai, tetapi kalau melihat secara umum sebetulnya PC KPU tidak hank dan koneksi WAN normal, buktinya para operator komputernya masih bisa meng-akses internet (face book dsb). Sepertinya ini aneh, kok justru koneksi WAN yang diutamakan?..koneksi ke internet harusnya tidak perlu.
Bukankah dengan terkoneksi ke internet justru rentan dengan gangguan-gangguan pihak lain?..seperti gangguan hacker
misalnya. Kenapa tidak di isolir saja, dibuat Local Area Network (LAN) khusus untuk jaringan KPU seluruh Indonesia saja?..

Kalau koneksitas jaringan kesemua remote (daerah) terputus (network time out) ini kemungkinan yang hank di server
Jakartanya, atau kemungkinan justru link komunikasinya yang down. Artinya penanganan (perbaikan) bisa lebih cepat
karena yang bermasalah di sisi Jakarta.

Apa mungkin?..hanya dibangun satu server (di sisi Jakarta) untuk melayani remote yang begitu banyak, terlebih untuk
proses transfer data yang cukup besar di jaringan yang sama dalam waktu yang bersamaan?..Sekali lagi mohon maaf, bukan berburuk sangka tetapi kelihatan sekali kalau IT KPU tidak siap dalam artian kematangan perencanaan. Apa tidak lebih baik kalau di sisi Jakarta dibangun server sebanyak jumlah propinsi?..satu server melayani satu site (Propinsi), jadi kemungkinan over load bisa dihindari dan kalau salah satu jaringan atau satu server down, akses data dari daerah lain tetap jalan, artinya rekapitulasi data suara tetap bisa dilakukan tanpa tersendat-sendat, seperti sekarang. Semoga ini bisa di antisipasi dengan baik untuk PilPres yang akan datang.

Sumber :

http://www.zikri.com/2009/04/10/it-kpu-jalan-mundur/

http://btcamp.wordpress.com/2009/04/16/kinerja-it-kpu/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar